Cilegon, Kota Seribu Lubang
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBDiaspal rusak lagi, diaspal rusak lagi, Pemerintah hanya fokus membereskan akibat, tidak mencegah sebab .
Cilegon semenjak empat dekade terakhir perlahan berubah menjadi kota Industri yang cukup pesat perkembangannya. Sebelumnya, Cilegon terkenal sebagai kota santri, disebut begitu karena Cilegon memiliki pondok pesantren terbesar dan menjadi sentral belajar se-Asia tenggara, ponpes Al-Khairiyah Citangkil. Berdiri tahun 1925, medio tahun 60-an Al-Khairiyah memiliki belasan ribu santri. Namun, diiringi pembangunan berdalih peningkatan ekonomi –pembangunan pabrik baja-, ponpes itu direlokasi. Dampaknya jelas, Al-Khairiyah sampai saat ini kehilangan marwahnya.
Hingga sekarang, telah berdiri ratusan Industri di berbagai kawasaan di Cilegon. Bahkan dari yang disebutkan salah satu ketua serikat buruh di Cilegon, terdapat 180 industri dengan modal di atas 1 Trilyun, artinya ada 180 industri sudah standart internasional. Namun, penanaman investasi ini tak selancar infrastrukur di Cilegon.
Ratusan industri dan pabrik ini turut mengundang banyak hal ke Cilegon, warga urban dengan segala tradisi dan kultur yang berbeda-beda, hingga transportasi untuk menunjang lancarnya industri. Pemetaan yang kurang baik dan tanpa adanya jalur khusus untuk kendaraan berat di Cilegon, sangat mengkhawatirkan masyarakat sipil. Contoh saja, kendaraan bermuatan lebih dari 10 ton setiap hari berlalu lalang di jalanan utama kota. Meski jamnya dibatasi hanya pukul 22.00 - 06.00 saja.
Dampak jelasnya adalah, kemacetan, jalan berlubang, bergelombang, serta banyaknya kecelakaan yang melibatkan warga sipil. Tak heran, banyak masyarakat melalui akun media sosialnya mengklaim bahwa Cilegon adalah kota seribu lubang. Hal itu disebabkan banyaknya terjadi kecelakaan tunggal karena lubang jalan, atau tabrak lari oleh kendaraan berat.
Pengerjaan jalan yang diduga asal-asalan juga menjadi salah satu faktor banyaknya lubang di Cilegon. Selain itu, sistem drainase yang tidak berjalan baik, meski semua warga tahu belum ada enam bulan berlalu, perombakan drainase secara besar-besara dilakukan. Namun, banjir tetap terjadi di mana-mana, malah kian parah. Seperti yang terjadi dalam kurun waktu satu bulan terakhir.
Siapa yang tak heran, drainase sudah diperbaiki, dirombak total, masih saja banjir, bahkan lebih parah. Cilegon ibarat rumah, hal-hal seperti jalan berlubang dan banjir adalah kotoran dalam rumah. Yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya membersihkan kotoran, bukan justru mencari dari mana sumber kotoran tersebut.
Misalnya begini, dalam satu rumah ada peraturan boleh mengenakan sandal atau sepatu di dalam rumah. Karena peraturan itu, setiap hari harus sering dilakukan pembersihan lantai, entah disapu atau dipel. Nah, kira-kira seperti itulah yang dilakukan pemerintah Cilegon saat ini, hanya fokus dalam penyelesaian akhir, yaitu aspal ulang, atau perbaikan drainase, tidak melihat aspek sebab akibat.
Masih dalam cerita rumah, padahal, bisa saja aturan tersebut dirubah. Tidak boleh mengenakan sandan dan sepatu di dalam rumah, rumah akan tetap bersih. Dalam hal ini, berarti dilarang memasukkan kendaraan berat ke jalanan kota, agar beban dari aspal yang sepertinya dikerjakan tidak sesuai spesifikasi tersebut bisa agak awet. Tidak seperti sekarang ini, umur aspal tidak lebih dari enam bulan saja.
Lalu, bicara lebih kompleks tentang banjir, pertanyaannya, banjir ini datang dari mana? Mengapa bisa banjir? Jadi begini, Cilegon adalah daerah yang dikelilingi pegunungan yang memanjang dari utara di daerah Bojonegara, hingga ke selatan di daerah Mancak hingga anyer. Fungsi gunung-gunung tersebut adalah sebagai tandon air bagi warga tentunya.
Namun, belakangan ini, gunung-gunung tersebut dikeruk, penambangan-penambangan kecil ada di setiap jengkal tanah. Sepanjang jalan Lingkar Selatan Cilegon pun, bisa dipastikan kanan dan kirinya berwarna putih, bukan lagi hijau. Saya tak bisa mendeskripsikan jenis apa tanah tersebut, yang jelas warnanya putih, dan banyak penambang di sana. Selain banyak penambang, banyak juga muda-mudi yang berfoto di gunung yang dirobek-robek itu, instagramable istilahnya.
Hilangnya daya serap air yang diberi oleh Tuhan –dibaca: gunung-, seakan menjadi komplit ketika DAS (Daerah Aliran Sungai) di barat kota hilang karena pembangunan pabrik. Dan air memilih jalurnya sendiri untuk ke jalan dan masuk ke rumah-rumah. Sebenarnya kita semua tahu penyebab banjir ini, hanya saja kita terlalu takut untuk menyudutkan pemerintah.
Pemerintah sudah saatnya memberlakukan peraturan yang mencegah di depan, bukan membersihkan dan memperbaiki di belakang. Dengan melarang sepenuhnya kendaraan berat melewati jalur kota, juga menghentikan izin-izin penambangan yang ada di Cilegon. Serta, teliti terhadap amdal perusahaan yang akan dibangun, apakah berdampak negatif terhadap masyarakatnya, atau tidak.
Cilegon, menjadi kota seribu lubang. Satu dari sekian banyak dampak yang disebabkan oleh industri. Masih ada nilai pengangguran warga asli, kultur buruk yang dibawa dari luar, serta kemacetan di beberapa titik. Cilegon, terlalu cepat untuk tumbuh, terlalu dipaksakan untuk berkembang, karena pembangunan-pembangunan itu, tidak diawali dengan membangun manusianya.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog #InfrastrukturKitaSemua
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Cilegon, Kota Seribu Lubang
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKeliling Kampung Sebarkan Ilmu Astronomi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler